Labels

Promo (1) Recipes (1)

Wednesday, April 29, 2015

Penangkap Mimpi

Malam itu, kita singgah ke suatu tempat yang hening. Mengasingkan diri dari apa yang kamu sebut takdir. Jalan hidup. Kenyataan. Melarikan diri dari desing, dengung, dan hentakan-hentakan memekakkan telinga. Di tempat itu, yang ada hanya sisa-sisa suara dan beberapa orang berlalu lalang.

'Di sini sudah cukup', ucapmu.

Aku menggelar alat-alat yang kubawa di atas meja setengah lingkaran; hendak kubuat sebuah penangkap mimpi. Aku menimbang bahan mentah, lalu kurajut baik-baik dengan tali-tali dan jarum. Harus cantik, pikirku.

Selagi aku sibuk dengan penangkap mimpi di hadapanku, aku terus mengamatimu dari sudut mataku. Kau sudah mulai menganyam milikmu. Kau membuat yang lebih indah, tapi aku tidak iri. Aku cukup senang bisa menjadi orang pertama yang melihat penangkap mimpimu.

'Aku jadi ingat. Sudah lama kita tidak bicara, ya. Terakhir kali mungkin tentang kenyataan. Kita tidak lagi bicara tentang mimpi. Mimpi apa yang ingin kau tangkap?'

Kuamati kamu yang berhenti. Aku ingin bicara denganmu. Terlalu banyak yang aku lewatkan. Terlalu banyak hari yang kita lewatkan tanpa bicara.

'Aku ingin kamu mengatakan sesuatu. Bilang sesuatu. Bilang. Aku nggak bisa mendengar apa yang kamu mau bilang. Bilang sesuatu, biar keluar semua yang dari tadi ingin menyembur. Menetes sampai habis nggak bersisa.'

Kamu diam. Aku tidak berani melihat wajahmu.

'Kenapa menunggu? Mulailah bicara. Akan aku tunggu sampai kamu bilang. Aku akan diam sampai aku dengar apa yang bisa aku dengar.'

Ah, kamu mulai bicara.

'Jangan berhenti, tolong. Maaf karena aku pernah berbuat aneh. Mereka bilang aku aneh. Saat ini pun bicaraku melantur, kata-kataku nggak tersusun rapih. Tapi aku percaya, ada orang yang akan mengerti. Kalau saja mau mendengar lebih lama, pasti akan mengerti. Aku akan sangat berterima kasih.'

'Kenapa diam saja? Jangan diam lagi. Teruskan lagi, aku ingin dengar lagi.'

Aku berhenti bertanya, karena kamu tidak juga menjawab pertanyaanku. Mungkin karena saat itu kamu tidak bisa dengar. Mungkin aku tidak sadar hanya mengucapkannya dalam hati.

Kamu tidak lagi bicara. Aku berhenti meminta.

Waktu terus berjalan, kita terus menikmati penangkap mimpi kita masing-masing...

Pada akhirnya, waktu menelan habis semua dialog yang malam itu terlempar ke udara. Akan aku ingat, sebuah meja di ujung ruangan. Akan aku ingat rasanya diam dengan kepala penuh isi hingga terasa ringan. Aku akan ingat desing baling-baling yang mengiringi perbincangan kita, kemudian berhenti tiba-tiba; seperti kata-kata yang segera menguap selepas kita bicara.

Aku terus mengikuti langkahmu, hingga suatu saat aku punya keberanian untuk bicara sepertimu. Tapi malam itu, kubiarkan kalimatku larut dalam suara dengung lampu yang mengiringi langkah kita kembali ke realita.

Seribu Titik

Aku lelah.
Lelah dan tidak sanggup berdiri.
                                             melihat.
                                             mendengar.

Lelah.
     Dan tidak bisa lagi.
          Berpikir.

Membelamu dalam hati saja aku tak mampu.
Atau mungkin enggan.
Ingin rasanya dengan mudah berlalu.
Pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
Namun jika begitu, apa artinya seribu pertemuan?
Haruskah kuperlakukan layaknya seribu titik?
Atau tanda tanya
tentang rasaku padamu?

Yogyakarta, 4 Mei 2015

Wednesday, April 22, 2015

Kepada manusia yang kubanggakan

Siapa seseorang di sana itu?

Aku melihat bayanganmu meringuk dalam gelap, merengkuh seonggok tubuh mungil yang gemetar kehausan. Tangan itu terus kau genggam, kening itu terus kau kecup. Samar-samar kudengar nyanyianmu, "Tidurlah sayang, mentari akan segera datang bawa kita pulang. Langit akan hembuskan angin yang lindungi kita dari dingin. Pelangi akan hibur kita dari kesepian. Tenanglah sayang..."

Kau sendiri bukan dalam kondisi sempurna.

Aku melihat helai-helai rambut kusut akibat terlalu sering terpapar butir-butir keringat. Kemudian gurat wajah yang disesaki kekecewaan dan kebencian pada dunia. Aku melihat sorot mata yang begitu lemah, terus menggerogoti tubuhmu yang tampak kuat.

Aku ingin mendekapmu. Aku ingin mengatakan bahwa kau tidak mampu bertahan sendirian. Aku ingin membawamu pulang, melepaskan dahaga kalian dengan porsi-porsi kasih sayang yang tidak akan habis kusiapkan.

Aku bergegas.

Aku terus mendekat, setengah berlari ke arahmu...

hingga aku lihat senyummu yang sedari tadi coba kau kembangkan. Aku lihat harapan dibalik genggaman eratmu pada tangan mungil bocah itu. Aku lihat air matamu yang terus kau telan, demi tubuh yang tidak henti mengharapkan dekapan.

Aku berhenti.

Aku terhenyak.

Kau lebih kuat dari aku.

Aku mundur hingga jarakku cukup jauh untuk mengamatimu dan bocah dalam pelukan. Aku tidak akan pergi. Aku akan terus berada di sini, mengamatimu dari jauh... hingga suatu saat kau menoleh ke arahku.

Kelak hari itu tiba, kan kukatakan padamu dengan peluk erat yang kalian rindukan, "Akulah yang selama ini kau dendangkan."

About Me

My photo
Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia