Labels

Promo (1) Recipes (1)

Saturday, December 19, 2015

Cerita kepada Angin

'Aku lelah. Kamu lelah. Mereka lelah. Lalu, siapa yang akan berjuang?' Kataku pada angin.

---

Aku ingin pergi, sungguh. Aku bukan orang yang kuat mental; aku tidak tahan tekanan. Suara balon meletus saja bisa membuatku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak pandai berbohong, apalagi membuat skenario. Memangnya aku siapa, Hanung Bramantyo? Chairil Anwar? Mengutarakan perasaanku saja aku tak bisa.
Ah... mungkin benar kata otak kiriku. Percuma bicara pada orang tuli. Menjelaskan sepanjang apapun tetap tak akan terdengar. Mungkin kamu butuh melihat, supaya kamu paham. Ya, aku paham sekarang.
Tapi tidak apa kan, kalau aku ingin bercerita pada angin? Mungkin saja ia membawa ceritaku padamu, lalu kamu tergelitik untuk tau lebih jauh, dan akhirnya memahami.

---

Ini bukan masalah cinta. Aku hanya ingin membangun rumah tempatku tumbuh. Kamu kebetulan berada di dalamnya, maka aku ingin kamu membangun bersamaku. Sekali waktu kamu sedang kelelahan, bergeserlah sedikit. Beri ruang untuk mereka yang masih punya banyak energi. Jangan bekerja ketika sedang lelah. Ibuku bilang itu buruk bagi kesehatan, begitu pula hasil bangunannya.

Oh ya. Rumah kita kini tinggal puing, baru saja kemarin terkena badai topan. Kamu dengar beritanya? Aku yakin kamu tau.
Aku ingin segera membangun rumah kita lagi, kau mau ikut? Aku tunggu ya.

Yogyakarta,
19 Desember 2015
Dini hari menjelang Subuh

Wednesday, August 5, 2015

Semoga?

Aku tidak mengatasnamakan orang lain, hanya diriku sendiri.
Kadang aku ingin pergi, kemudian kembali untuk melihatmu baik-baik saja. Dan aku baik-baik saja. Kita berpapasan, saling menyembunyikan senyum lega karna kembali diizinkan bertemu.
Kadang aku ingin tinggal, berharap melihatmu berhenti berpikir tentang diri sendiri, sedikit demi sedikit menjadikan dirimu sosok yang ada di dalam kepalaku. Kemudian aku bahagia, dan kamu bahagia melihat aku bahagia.
Kadang juga, aku berpikir untuk melupakan apa yang menjadi keinginanku. Kemudian bersyukur telah dipertemukan denganmu, sebagaimana adanya.
Sayangnya, ini waktu yang lain. Dan saat ini aku sedang bimbang. Kisah macam apa yang menanti kita di kemudian hari? Aku tidak ingin menerka. Aku hanya berharap ini adalah sebuah fase, yang sebentar lagi akan berakhir.

Banjarnegara, 5 Agustus 2016
Sambil menyusuri jalan gelap menuju mushalla

Friday, July 10, 2015

Ketika Petang Sudah Pergi dan Malam Mengambil Alih

Di kejauhan
Jangkrik bernyanyi
Adzan berkumandang
Kembang api berletusan

Di sampingku
Televisi berbicara
Orang-orang bercengkrama
Kaki-kaki berlalu lalang

Sementara itu
Aku memandangi layar telepon genggam
Membunuh waktu hingga tak sempat berurusan dengan mereka

Begitulah.

Banjarnegara, 10 Juli 2015

Monday, June 1, 2015

Sekelumit.

Kadang...
Aku ingin menjadi asura, supaya tangan-tanganku cukup menjangkau hal yang selama ini tak mampu kujangkau.

Aku ingin menjadi hulk, supaya kekuatanku cukup mengangkat beban yang saat ini tak mampu kupikul.

Aku ingin menjadi naruto, supaya bisa kukerjakan banyak hal dalam satu waktu.

Tapi kalau begitu, aku akan menjadi begitu sempurna dan tidak lagi membutuhkanmu: sesuatu yang tidak mampu aku bayangkan.

Aku hanya ingin melihatmu berusaha. Hanya ingin kamu lari bersamaku. Tidak perlu jadi juara pertama, nak. Cukup berusaha sepenuh hatimu, kemudian aku akan menjadi manusia paling mampu dan berbangga.

Yogyakarta, awal Juni 2015
Di sebuah tempat penuh darah bertumpah.

Pinta

Malam..
Tolong sampaikan pada petang aku sedang merindu
Pastikan ia tau aku terus menanti ia datang dengan jingganya yang kemilau, meski hanya dapat kupandangi dari jauh.

Angin..
Tolong sampaikan pada hujan aku selalu mencinta
Pastikan ia tau aku terus menunggunya kembali tertuang, meski hanya dapat kunikmati dari balik jeruji jendela.

Satu lagi..
Tolong sampaikan pada penjaga hatinya bahwa aku berdiam di sana
Lelap, menantinya bangunkanku dari mimpi tentang masa depan yang tak kunjung tiba.

Yogyakarta, 8 Juni 2015

Wednesday, April 29, 2015

Penangkap Mimpi

Malam itu, kita singgah ke suatu tempat yang hening. Mengasingkan diri dari apa yang kamu sebut takdir. Jalan hidup. Kenyataan. Melarikan diri dari desing, dengung, dan hentakan-hentakan memekakkan telinga. Di tempat itu, yang ada hanya sisa-sisa suara dan beberapa orang berlalu lalang.

'Di sini sudah cukup', ucapmu.

Aku menggelar alat-alat yang kubawa di atas meja setengah lingkaran; hendak kubuat sebuah penangkap mimpi. Aku menimbang bahan mentah, lalu kurajut baik-baik dengan tali-tali dan jarum. Harus cantik, pikirku.

Selagi aku sibuk dengan penangkap mimpi di hadapanku, aku terus mengamatimu dari sudut mataku. Kau sudah mulai menganyam milikmu. Kau membuat yang lebih indah, tapi aku tidak iri. Aku cukup senang bisa menjadi orang pertama yang melihat penangkap mimpimu.

'Aku jadi ingat. Sudah lama kita tidak bicara, ya. Terakhir kali mungkin tentang kenyataan. Kita tidak lagi bicara tentang mimpi. Mimpi apa yang ingin kau tangkap?'

Kuamati kamu yang berhenti. Aku ingin bicara denganmu. Terlalu banyak yang aku lewatkan. Terlalu banyak hari yang kita lewatkan tanpa bicara.

'Aku ingin kamu mengatakan sesuatu. Bilang sesuatu. Bilang. Aku nggak bisa mendengar apa yang kamu mau bilang. Bilang sesuatu, biar keluar semua yang dari tadi ingin menyembur. Menetes sampai habis nggak bersisa.'

Kamu diam. Aku tidak berani melihat wajahmu.

'Kenapa menunggu? Mulailah bicara. Akan aku tunggu sampai kamu bilang. Aku akan diam sampai aku dengar apa yang bisa aku dengar.'

Ah, kamu mulai bicara.

'Jangan berhenti, tolong. Maaf karena aku pernah berbuat aneh. Mereka bilang aku aneh. Saat ini pun bicaraku melantur, kata-kataku nggak tersusun rapih. Tapi aku percaya, ada orang yang akan mengerti. Kalau saja mau mendengar lebih lama, pasti akan mengerti. Aku akan sangat berterima kasih.'

'Kenapa diam saja? Jangan diam lagi. Teruskan lagi, aku ingin dengar lagi.'

Aku berhenti bertanya, karena kamu tidak juga menjawab pertanyaanku. Mungkin karena saat itu kamu tidak bisa dengar. Mungkin aku tidak sadar hanya mengucapkannya dalam hati.

Kamu tidak lagi bicara. Aku berhenti meminta.

Waktu terus berjalan, kita terus menikmati penangkap mimpi kita masing-masing...

Pada akhirnya, waktu menelan habis semua dialog yang malam itu terlempar ke udara. Akan aku ingat, sebuah meja di ujung ruangan. Akan aku ingat rasanya diam dengan kepala penuh isi hingga terasa ringan. Aku akan ingat desing baling-baling yang mengiringi perbincangan kita, kemudian berhenti tiba-tiba; seperti kata-kata yang segera menguap selepas kita bicara.

Aku terus mengikuti langkahmu, hingga suatu saat aku punya keberanian untuk bicara sepertimu. Tapi malam itu, kubiarkan kalimatku larut dalam suara dengung lampu yang mengiringi langkah kita kembali ke realita.

Seribu Titik

Aku lelah.
Lelah dan tidak sanggup berdiri.
                                             melihat.
                                             mendengar.

Lelah.
     Dan tidak bisa lagi.
          Berpikir.

Membelamu dalam hati saja aku tak mampu.
Atau mungkin enggan.
Ingin rasanya dengan mudah berlalu.
Pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
Namun jika begitu, apa artinya seribu pertemuan?
Haruskah kuperlakukan layaknya seribu titik?
Atau tanda tanya
tentang rasaku padamu?

Yogyakarta, 4 Mei 2015

Wednesday, April 22, 2015

Kepada manusia yang kubanggakan

Siapa seseorang di sana itu?

Aku melihat bayanganmu meringuk dalam gelap, merengkuh seonggok tubuh mungil yang gemetar kehausan. Tangan itu terus kau genggam, kening itu terus kau kecup. Samar-samar kudengar nyanyianmu, "Tidurlah sayang, mentari akan segera datang bawa kita pulang. Langit akan hembuskan angin yang lindungi kita dari dingin. Pelangi akan hibur kita dari kesepian. Tenanglah sayang..."

Kau sendiri bukan dalam kondisi sempurna.

Aku melihat helai-helai rambut kusut akibat terlalu sering terpapar butir-butir keringat. Kemudian gurat wajah yang disesaki kekecewaan dan kebencian pada dunia. Aku melihat sorot mata yang begitu lemah, terus menggerogoti tubuhmu yang tampak kuat.

Aku ingin mendekapmu. Aku ingin mengatakan bahwa kau tidak mampu bertahan sendirian. Aku ingin membawamu pulang, melepaskan dahaga kalian dengan porsi-porsi kasih sayang yang tidak akan habis kusiapkan.

Aku bergegas.

Aku terus mendekat, setengah berlari ke arahmu...

hingga aku lihat senyummu yang sedari tadi coba kau kembangkan. Aku lihat harapan dibalik genggaman eratmu pada tangan mungil bocah itu. Aku lihat air matamu yang terus kau telan, demi tubuh yang tidak henti mengharapkan dekapan.

Aku berhenti.

Aku terhenyak.

Kau lebih kuat dari aku.

Aku mundur hingga jarakku cukup jauh untuk mengamatimu dan bocah dalam pelukan. Aku tidak akan pergi. Aku akan terus berada di sini, mengamatimu dari jauh... hingga suatu saat kau menoleh ke arahku.

Kelak hari itu tiba, kan kukatakan padamu dengan peluk erat yang kalian rindukan, "Akulah yang selama ini kau dendangkan."

Tuesday, March 17, 2015

Bedanya Saya dan Kamu adalah...

Mungkin tidak ada. Kita adalah dua hati yang serupa, namun seorang memilih jalan satu sementara orang satunya memilih jalan yang lain. Tidak ada yang salah, namun perbedaan dalam kesamaan itulah yang membuat saya memutuskan untuk menjaga jarak, seperti mobil yang takut terlalu dekat dengan truk penuh muatan.

Anda tidak perlu menerka apa yang ada di dalam hati saya, pun saya tidak akan terlibat terlalu jauh dengan apa-apa yang anda alami. Ada alasan saya mengabaikan hal-hal yang mengikat, seperti alunan lagu relaksasi yang tidak ingin berhenti. Saya tidak akan katakan, atas dasar hal yang tadi saya utarakan.

Mulai saat ini, saya ucapkan selamat tinggal pada koleksi topeng-topeng yang mengakari perilaku. Saya ucapkan pula salam bagi para pecinta kebahagiaan, dalam jalan manapun yang kita pilih.

Yogyakarta, 17 Maret 2015

Thursday, March 12, 2015

Yogyakarta, 13 Maret 2015

Aku lelah.

Dan tak mampu menjelaskan kenapa.

Mendewasa

Di bawah hujan, wajahku tergelitik dingin dihempas rindu. Rinduku pada rumah, pada adik dan kakak yang dulu menemaniku melalui badai demi badai.

Di tengah hujan, mataku pejam hingga khayal membawaku pada hangat peluk cinta ayah ibuku. Himpitan kasih sayang yang begitu menyesakkan hingga tidak ada lagi ruang untuk meletakkan sejumput cinta milik orang lain.

Di dalam hujan, aku tersadar bahwa aku tidak ingin semua berlalu terlalu cepat. Aku tidak ingin melihat pelangi, tidak ingin kembali menanti hujan yang mengalihkanku dari kenyataan bahwa waktu terus berjalan.

Saat ini hujan sudah reda.
Aku mengambil langkah, berusaha melupakan ingatanku tentangnya. Saatnya kembali ke kenyataan, pikirku. Sebentar lagi, tinggal satu tahun lagi.

Ingatlah, ketika hujan..

Selamat semuanya!

Selamat atas tahun baru yang indah. Selamat atas setiap pertemuan, setiap perpisahan. Dan selamat atas hujan yang terus mengguyur bumi untuk kembali ditanami.

Aku yakin bumi berbahagia. Seperti kita yang berbahagia atas kesempatan menggembur diri bersama hujan. Kita yang terus melembutkan diri agar sanggup digali lebih dalam sekaligus menguatkan diri agar mampu menopang bibit yang sedang tumbuh dalam diri kita.

---

Ketika suatu hari kau kelelahan karna hantaman demi hantaman menghujam tanpa ampun, tersenyumlah karna lelahmu adalah perjuangan.

Pahamilah bahwa setiap layu dalam tatap adalah keindahan. Setiap dentum di telinga adalah sebuah pelajaran. Setiap deras dalam tubuh adalah sebuah kesempatan.

Kesempatan untuk menunjukkan apa yang selama ini ada dalam imaji. Memperdengarkan apa yang terus kita lagukan dalam pikiran. Mengutarakan kalimat yang tidak siap terucap. Menarikan syair yang kita buat bersama hari-hari yang kita lalui. Merasakan indahnya pelangi setelah badai pergi.

Yakinlah bahwa hujan akan membawa kita berlayar jauh. Tambatkan hatimu pada nikmatnya udara yang memutihkan nafas, sekaligus menggemakan gemeletuk seolah haus bergerak. Berirama.
Bantu hujan merasuki diri kita, meletupkan wangi petrichor yang dicintai setiap manusia penikmat aroma.

Dan aku,
terus menemanimu menerima setiap titik
sebagai apapun yang kau butuhkan.

Hingga hantaman hujan menjelma menjadi rintik, lalu menguap bersama angin yang menghantarkan kita pada pelangi yang dirindu-rindukan, sebelum datang hujan berikutnya.

Yogyakarta, 12 Maret 2015
00.56 WIB

Wednesday, March 4, 2015

Di Tengah Kelas, di Antara Pikiran yang Berkecamuk

"Kenapa juga dia ngritik padahal sendirinya masih begitu?"

Sebuah hal yang beberapa menit terakhir berkecamuk di pikiranku. Sebuah hal yang selama ini sering kudengar berkumandang di sekitarku. Termasuk dari mulutku sendiri.

Kenapa marah karna ada orang lain yang ingin mengingatkan?
Kenapa terganggu karna ada yang ingin melihat kita lebih dari sebelumnya?

Bukankah hakikat manusia adalah ketidaksempurnaan dan oleh karenanyalah kita saling membutuhkan?

Bukankah manusia adalah gelas yang haus diisi tanpa pernah menjadi penuh?

Bukankah kita pernah belajar, bahwa apa yang kita berikan pada orang lain juga kita berikan pada diri sendiri?

Jadi apa salahnya, berbagi?
Berbagi pada diri kita, sembari menuai ilmu tanpa perlu mencari.
Berbagi pada mereka, yang sama tidak sempurnanya dengan kita?

Yogyakarta, 4 Maret 2015

About Me

My photo
Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia